Pahlawan Marsinah

Gelar Pahlawan Nasional untuk Marsinah, Simbol Perjuangan Buruh Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional untuk Marsinah, Simbol Perjuangan Buruh Indonesia
Gelar Pahlawan Nasional untuk Marsinah, Simbol Perjuangan Buruh Indonesia

JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada aktivis buruh asal Jawa Timur, Marsinah, dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 November 2025.

Penetapan ini menjadi bentuk penghormatan negara terhadap perjuangan seorang perempuan muda yang berani melawan ketidakadilan di tempat kerja dan menjadi simbol perlawanan kaum buruh Indonesia.

“Tiga, almarhumah Marsinah tokoh dari Provinsi Jawa Timur,” ujar Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana saat membacakan nama penerima gelar pahlawan nasional yang kemudian diserahkan langsung oleh Presiden Prabowo kepada ahli warisnya.

Pemberian gelar ini menegaskan bahwa perjuangan Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh bukan sekadar kisah kelam masa lalu, tetapi juga bagian penting dari perjalanan panjang demokrasi dan kemanusiaan di Indonesia.

Sosok Buruh Perempuan yang Teguh dan Sederhana

Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Astin dan Sumini. Sejak muda, Marsinah dikenal sebagai sosok pekerja keras dan peduli terhadap sesama.

Setelah lulus sekolah, ia bekerja di pabrik plastik SKW di kawasan industri Rungkut, Surabaya. Namun, karena penghasilan yang diterima tidak mencukupi, Marsinah mencari cara lain untuk bertahan hidup. Ia berjualan nasi bungkus seharga Rp150 di sekitar pabrik demi menambah penghasilan. Ketekunannya memperlihatkan semangat juang seorang perempuan muda dari desa yang berusaha memperbaiki nasib dengan cara yang jujur dan mandiri.

Perjalanan hidupnya berubah ketika ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo. Di sanalah ia menyaksikan langsung ketimpangan antara hak dan kewajiban para buruh dengan kebijakan perusahaan. Dari sanalah pula benih perjuangannya terhadap keadilan mulai tumbuh kuat.

Aksi Mogok dan Perlawanan yang Membawa Duka

Perjuangan Marsinah mencapai puncaknya pada 3–4 Mei 1993, saat ia bersama rekan-rekan buruh PT CPS melakukan aksi mogok kerja menuntut pemenuhan hak-hak dasar mereka. Dari 12 tuntutan yang diajukan, 11 diterima oleh perusahaan, kecuali permintaan pembubaran Unit Kerja SPSI.

Namun, satu hari setelah kesepakatan dibuat, 13 buruh dipanggil ke Kodim 0816 Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri. Marsinah yang mendengar kabar tersebut langsung menunjukkan kepeduliannya. Ia menulis surat kepada rekan-rekan buruhnya berisi arahan untuk menghadapi interogasi militer. Dalam surat itu, ia juga berikrar,
“Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh Kodim, saya akan bawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya.”

Pernyataan itu menunjukkan keberanian luar biasa seorang perempuan muda yang tidak takut menghadapi tekanan aparat. Pada 5 Mei 1993, ia mengirim surat protes resmi kepada pihak perusahaan, namun malam itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan rekan-rekan buruh.

Tragedi dan Misteri yang Menggetarkan Negeri

Tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, tubuh Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Ia tewas dengan luka-luka parah di sekujur tubuh, pertanda telah mengalami penyiksaan. Berita itu segera mengguncang publik dan mengundang perhatian Presiden Soeharto kala itu.

Dalam waktu singkat, polisi memeriksa 142 orang, namun kasus tersebut justru semakin kabur. Delapan orang dari PT CPS, termasuk pemiliknya Judi Susanto, diculik oleh aparat dan dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Mereka disiksa untuk memberikan pengakuan palsu. Meski sempat divonis penjara, seluruh terdakwa akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung karena tidak terbukti bersalah.

Sejak saat itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak pernah menemukan pelaku sebenarnya. Ia menjadi simbol pelanggaran HAM dan ketidakadilan terhadap pekerja di masa itu.

Perjuangan yang Abadi dan Diakui Negara

Lebih dari tiga dekade kemudian, nama Marsinah tetap hidup dalam ingatan rakyat. Bendera dengan namanya masih dikibarkan oleh para buruh dalam berbagai demonstrasi, menandakan bahwa semangatnya belum padam.

Kini, setelah bertahun-tahun perjuangannya diakui, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tahun 2025. Penghargaan ini menjadi bentuk pengakuan negara atas keberanian dan pengorbanannya memperjuangkan hak-hak dasar buruh.

Marsinah kini disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar lainnya seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Soeharto, yang juga menerima gelar serupa pada tahun yang sama.

Penganugerahan ini juga menjadi simbol bahwa perjuangan buruh bukan sekadar soal upah dan pekerjaan, melainkan tentang martabat manusia. Marsinah mewakili suara-suara kecil yang berani menuntut keadilan di tengah represi, dan kini perjuangannya diabadikan dalam sejarah bangsa.

Sebagaimana disampaikan dalam upacara kenegaraan, semangat Marsinah akan terus dikenang sebagai semangat kemanusiaan dan keadilan sosial—dua nilai yang menjadi dasar perjuangan bangsa Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index