Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 2025 Simbol Rekonsiliasi Sejarah Indonesia

Rabu, 12 November 2025 | 09:13:17 WIB
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 2025 Simbol Rekonsiliasi Sejarah Indonesia

JAKARTA - Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto menghadirkan momen rekonsiliasi simbolik bagi sejarah bangsa.

Sepuluh tokoh bangsa dianugerahi gelar tersebut, termasuk lima figur yang merepresentasikan dinamika Orde Baru: Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sarwo Edhie Wibowo, Marsinah, dan Mochtar Kusumaatmaja. Pilihan ini menunjukkan upaya pemerintah menghargai beragam peran, dari kekuasaan tertinggi hingga perjuangan moral dan diplomasi internasional.

Peran Beragam di Masa Orde Baru

Soeharto, memimpin Indonesia lebih dari tiga dekade, menjadi simbol stabilitas dan pembangunan ekonomi pasca-1965. Kepemimpinannya menorehkan pencapaian besar, seperti perluasan sawah dan swasembada pangan. Namun, stabilitas ini dibayar dengan pembatasan kebebasan politik dan kritik terhadap pemerintah. Penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto memunculkan pro dan kontra, namun tetap menegaskan posisinya dalam sejarah modern Indonesia.

Sebaliknya, Gus Dur berdiri sebagai oposisi moral dalam era Orde Baru. Tokoh Nahdlatul Ulama ini menekankan pluralisme, kebebasan beragama, dan demokrasi. Gus Dur menggunakan tulisan dan pemikiran untuk menyalakan lentera moral, mengajak bangsa ini berpikir lebih manusiawi, hingga menjadi simbol penyembuhan nasional saat reformasi 1998.

Sarwo Edhie Wibowo memainkan peran penting dalam keamanan negara. Sebagai Komandan RPKAD, ia memimpin operasi pasca-G30S/PKI 1965, memastikan stabilitas nasional dan pemulihan situasi. Keberadaannya menegaskan bahwa keamanan dan ketertiban negara adalah fondasi pembangunan bangsa.

Marsinah, mewakili “rakyat kecil”, menjadi simbol keberanian pekerja buruh menuntut keadilan. Aktivismenya di Sidoarjo 1993 berakhir tragis, namun menyulut kesadaran publik tentang pentingnya pembangunan yang berpihak pada kemanusiaan. Marsinah menunjukkan bahwa perjuangan tanpa senjata, tetapi berbasis moral, tetap berdampak besar bagi bangsa.

Mochtar Kusumaatmaja menegaskan diplomasi Indonesia di panggung global. Sebagai Menteri Luar Negeri era Soeharto, ia mendorong konsep “negara kepulauan” yang diakui lewat UNCLOS 1982. Strateginya memperkuat kedaulatan Indonesia tanpa konflik bersenjata, menunjukkan kekuatan diplomasi yang beradab.

Simbol Rekonsiliasi dan Kompleksitas Sejarah

Pemberian gelar kepada kelima tokoh ini bukan sekadar pengakuan individu, tetapi simbol rekonsiliasi dan refleksi sejarah. Pemerintah ingin menegaskan bahwa sejarah Indonesia dibentuk oleh kekuasaan, perlawanan moral, dan perjuangan rakyat. Soeharto membangun dari atas, Marsinah berjuang dari bawah, Gus Dur menyalakan lentera moral, Sarwo memulihkan keamanan, dan Mochtar menjaga kedaulatan negara.

Melalui penganugerahan ini, Presiden Prabowo ingin menunjukkan bahwa bangsa menghargai semua peran, baik yang menentang ketidakadilan maupun yang memegang kekuasaan. Hal ini menandai momen simbolik untuk memahami bahwa sejarah tidak pernah tunggal, melainkan dibentuk dari beragam perspektif dan pengalaman.

Pelajaran dari Sejarah yang Kompleks

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menekankan, “Sejarah tidak pernah dapat dihadirkan kembali sebagaimana adanya; yang dapat dilakukan hanyalah rekonstruksi yang bersifat selektif dan interpretatif.” Gelar kepahlawanan ini menjadi sarana bagi bangsa untuk belajar dari beragam pengalaman dan nilai yang ditinggalkan para tokoh.

Sepanjang Orde Baru, keberhasilan, perlawanan, moralitas, keamanan, dan diplomasi menjadi pilar yang saling melengkapi. Gelar Pahlawan Nasional mengingatkan masyarakat bahwa pembangunan bangsa bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga keberanian moral, perlindungan hak rakyat, dan kebijakan diplomasi yang bijaksana.

Momen Refleksi untuk Bangsa

Dua puluh tujuh tahun pasca-reformasi, penganugerahan gelar ini mengajak bangsa Indonesia melihat sejarah secara utuh. Nilai terbesar dari gelar kepahlawanan bukan hanya pada siapa yang diberi, tetapi pada pembelajaran yang bisa diambil. Indonesia diajak mengapresiasi kekuasaan, moralitas, dan kemanusiaan sebagai fondasi pembangunan bangsa yang berkelanjutan.

Dengan begitu, gelar Pahlawan Nasional 2025 bukan hanya pengakuan terhadap jasa individu, tetapi juga cermin dari perjalanan sejarah bangsa yang kompleks, dialog antara kekuasaan dan moral, serta simbol rekonsiliasi untuk masa depan yang lebih inklusif dan adil.

Terkini