Gus Dur Dianugerahi Pahlawan Nasional karena Perjuangan Kemanusiaan

Selasa, 11 November 2025 | 15:51:32 WIB
Gus Dur Dianugerahi Pahlawan Nasional karena Perjuangan Kemanusiaan

JAKARTA - Bagi sebagian pemimpin, jabatan adalah simbol kehormatan.

Namun bagi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, kehormatan sejati justru terletak pada keberanian untuk melepaskannya demi kemanusiaan. Sikap inilah yang membuatnya dikenang bukan hanya sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia, tetapi sebagai sosok yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas kekuasaan.

Putri sulungnya, Alissa Wahid, masih mengingat jelas peristiwa pada 2001, ketika gelombang demonstrasi besar menuntut Gus Dur turun dari kursi kepresidenan. Kala itu, Gus Dur mengatakan kepadanya bahwa ia akan bertahan karena konstitusi tidak bisa di-voting. “Enggak bisa, Nak. Kita itu memperjuangkan konstitusi, kebenaran itu enggak bisa di-voting,” ujar Gus Dur.

Namun, prinsip itu berubah seketika ketika ia mengetahui bahwa ada ribuan santri yang siap mempertaruhkan nyawa demi mempertahankannya di Istana. Gus Dur sadar, mempertahankan jabatan dengan mengorbankan nyawa rakyat bukanlah pilihan seorang pemimpin sejati. Ia pun memanggil keluarganya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan Istana. 

“Wis, Nak, ini santri banyak yang ke sini, enggak ada jabatan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyat. Dah, kita keluar,” kata Gus Dur kepada Alissa.

Keputusan yang Lahir dari Nurani

Momen itu menjadi titik penting dalam perjalanan Gus Dur sebagai pejuang kemanusiaan. Dengan mengenakan kaos oblong dan celana pendek, ia keluar dari Istana, melambaikan tangan ke arah awak media, dan menyapa para pendukung yang siap membelanya sampai mati. Keputusannya melepaskan jabatan bukan tanda kekalahan, melainkan kemenangan nurani atas ego kekuasaan.

Bagi banyak orang, tindakan itu menjadi bukti nyata bahwa perjuangan Gus Dur bukan untuk mempertahankan tahta, melainkan menjaga agar tidak ada setetes darah rakyat yang tertumpah. Ia memilih perdamaian dibanding kekuasaan, dan dari sanalah publik memahami bahwa Gus Dur bukan sekadar pemimpin politik, tetapi pejuang nilai kemanusiaan yang sesungguhnya.

Perjuangan yang Dimulai Sejak Sebelum Menjadi Presiden

Gus Dur sudah lama menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan, jauh sebelum menjadi Presiden. Pada masa pemerintahan Soeharto, ia dikenal kritis melalui cara khasnya—humor. Kritiknya tajam namun dibungkus dengan kelucuan yang menyentil kekuasaan. Salah satunya, kisah seorang presiden asing yang melucu dalam pidato panjang, namun penerjemah hanya berkata singkat dan seluruh audiens tertawa. Ketika presiden itu heran, orang dekatnya menjawab, “Yang tidak ketawa akan dihukum.” Humor ini, menurut Alissa Wahid, adalah sindiran terhadap masyarakat yang hanya mengikuti perintah tanpa memahami maknanya.

Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur menegaskan komitmennya terhadap kebebasan dan pluralisme. Ia mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan agama dan adat etnis Tionghoa di ruang publik. Langkah ini membuka ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk kembali merayakan Imlek secara terbuka. Keputusan tersebut menandai babak baru dalam sejarah kebhinekaan Indonesia—langkah awal menuju pengakuan resmi Imlek sebagai hari libur nasional yang akhirnya diterapkan pada 2003.

Pahlawan Kemanusiaan yang Melampaui Zaman

Perjuangan Gus Dur tidak berhenti setelah ia tidak lagi menjabat. Hingga akhir hayatnya, ia tetap dikenal sebagai tokoh pluralisme dan pembela hak asasi manusia. Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Pada nisannya, tertulis kalimat sederhana namun penuh makna: “Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan.” Kalimat itu ditulis dalam empat bahasa—Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin—simbol dari semangat universalitas perjuangannya.

Bertahun-tahun setelah kepergiannya, warisan Gus Dur terus hidup. Pada 10 November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan, pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025. Gelar tersebut diberikan atas jasa luar biasa Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia.

Narator Istana menyampaikan, “KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh bangsa yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia.” Penganugerahan ini bukan karena statusnya sebagai mantan presiden, melainkan dedikasinya menjaga keadilan dan keberagaman.

Penghargaan untuk Sosok yang Tak Pernah Mengejar Gelar

Alissa Wahid menegaskan bahwa keluarga menerima penghargaan ini bukan karena nama Gus Dur disejajarkan dengan tokoh lain seperti Soeharto yang juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, melainkan karena makna di balik perjuangannya. “Gus Dur menerima penghargaan karena jejaknya sebagai pejuang demokrasi yang dimulai sejak masih menjadi kyai dan penggerak masyarakat sipil. Bukan sebagai Presiden,” tegas Alissa.

Istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah, dan putri ketiganya, Yenny Wahid, turut hadir dalam upacara di Istana Negara. Yenny menyampaikan bahwa penghargaan ini diterima dengan penuh syukur dan kerendahan hati. “Bagi banyak orang, beliau adalah tokoh bangsa. Bagi saya, beliau adalah ayah yang mengajarkan arti keberanian untuk membela yang lemah, berjuang untuk keadilan, dan menjaga kemanusiaan di atas segalanya,” ungkap Yenny dengan haru.

Warisan Keberanian dan Cinta untuk Kemanusiaan

Bagi bangsa Indonesia, Gus Dur adalah simbol keberanian moral. Ia tidak hanya menolak diskriminasi dan memperjuangkan kebebasan beragama, tetapi juga menanamkan nilai bahwa kemanusiaan harus selalu berada di atas kepentingan politik. Warisan Gus Dur bukan sekadar dalam catatan sejarah, tetapi dalam cara generasi penerus meneladani sikapnya yang lembut namun tegas.

“Semoga teladan beliau terus hidup dalam setiap langkah kecil kita untuk menjaga kemanusiaan dan persaudaraan di bumi Indonesia,” ujar Yenny menutup pesan keluarganya.

Kini, gelar Pahlawan Nasional yang melekat pada nama Gus Dur bukan sekadar penghargaan simbolis, tetapi pengakuan terhadap ketulusan dan keberanian seorang manusia yang memilih nurani di atas kekuasaan.

Terkini