Dampak Doomscrolling pada Kesehatan Mental dan Cara Mengatasinya

Kamis, 25 September 2025 | 08:58:51 WIB
Dampak Doomscrolling pada Kesehatan Mental dan Cara Mengatasinya

JAKARTA - Kebiasaan menggulir layar gawai untuk mencari informasi terkini sudah menjadi bagian dari kehidupan modern.

Namun, di balik kebutuhan memperoleh kabar terbaru, tidak sedikit orang justru terjebak dalam perilaku doomscrolling—yakni kecenderungan terus membaca berita atau konten negatif tanpa henti. Alih-alih membuat lebih siap menghadapi keadaan, kebiasaan ini justru dapat memicu kecemasan dan kelelahan emosional.

Fenomena doomscrolling menjadi perhatian para ahli psikologi karena erat kaitannya dengan cara manusia merespons ketidakpastian. Informasi yang deras mengalir, khususnya berita buruk, mendorong individu untuk terus mencari kepastian, meskipun hal itu justru memperburuk kondisi psikologis.

Apa Itu Doomscrolling?

Dosen Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Atika Dian Ariana, menjelaskan bahwa doomscrolling merupakan perilaku kompulsif yang muncul sebagai manifestasi kecemasan. Menurutnya, manusia memiliki dorongan alami untuk memahami situasi serta memastikan dirinya mampu menghadapi ancaman.

“Doomscrolling ini semacam dorongan untuk menyelamatkan diri. Dengan mencari informasi, manusia merasa bahwa dirinya bisa mengendalikan hal-hal yang negatif atau mengancam,” ujar Atika.

Ia menambahkan, meski sekilas terlihat sebagai upaya bertahan hidup, perilaku tersebut sebenarnya tidak membantu. Justru, individu yang terus-menerus terpapar informasi negatif akan lebih mudah mengalami stres dan terjebak dalam siklus emosi yang melelahkan.

Mengapa Doomscrolling Berbahaya?

Paparan berita buruk secara terus-menerus dapat membuat otak bekerja berlebihan. Atika menekankan, aktivitas ini bukanlah solusi nyata karena tidak ada kepastian kapan informasi negatif itu akan berhenti.

“Scrolling itu bukan aktivitas yang betul-betul memberikan solusi, kecuali kalau kita tahu kapan harus berhenti. Misalnya, saat menghadapi ujian, kita tahu kapan ujian berakhir sehingga lebih mudah dikendalikan, tapi dalam situasi tidak menentu, seperti pandemi atau kerusuhan, kita tidak paham sebenarnya kapan ini berakhir,” jelasnya.

Kondisi tersebut memicu rasa risau berlebihan yang lama-kelamaan tidak hanya menguras pikiran, tetapi juga berdampak pada fisik. Tubuh bisa ikut menegang, seolah selalu bersiap menghadapi ancaman. Bila berlangsung lama, situasi ini berpotensi menyebabkan kelelahan mental sekaligus fisik.

“Ketika muncul rasa cemas atau stres, tubuh ikut menegang seolah bersiap menghadapi ancaman. Lama-lama bukan hanya pikiran yang lelah, tapi juga tubuh kita,” tambah Atika.

Literasi Media Jadi Kunci

Untuk mengurangi risiko dari kebiasaan doomscrolling, penting bagi masyarakat meningkatkan literasi media. Artinya, setiap individu perlu bijak dalam memilah dan memilih sumber informasi yang kredibel, bukan sekadar mengikuti arus berita yang belum jelas kebenarannya.

Dengan selektif dalam menerima informasi, individu dapat memutus lingkaran negatif dari kabar buruk yang berulang. Selain itu, kontrol diri juga sangat dibutuhkan agar paparan layar gawai tidak mendominasi aktivitas sehari-hari.

Aktivitas Positif sebagai Alternatif

Atika menyarankan agar orang-orang mulai melatih diri membatasi waktu menggunakan media sosial atau portal berita. Sebagai gantinya, waktu luang bisa diisi dengan berbagai kegiatan produktif.

Beberapa aktivitas yang disarankan antara lain olahraga, memasak, membersihkan rumah, menekuni hobi, hingga memperdalam kegiatan spiritual. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya menyita perhatian, tetapi juga membantu menjaga keseimbangan emosional.

“Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, tapi ada juga yang harus kita kembalikan kepada Tuhan. Kalau kita bisa menyeimbangkan berbagai aspek itu, kita bisa berfungsi secara penuh sebagai manusia sekaligus mengelola emosi dengan lebih baik,” terangnya.

Dukungan Sosial dan Profesional

Meski berbagai langkah pencegahan bisa dilakukan, ada kalanya individu masih kesulitan keluar dari lingkaran doomscrolling. Dalam kondisi seperti itu, Atika menyarankan agar seseorang tidak ragu mencari bantuan.

Pertama, dukungan dari orang terdekat dapat menjadi penopang penting. Berbagi cerita atau sekadar mengalihkan perhatian bersama keluarga dan teman bisa membantu mengurangi beban pikiran. Kedua, bila masalah sudah terlalu mengganggu, maka langkah terbaik adalah mencari bantuan profesional.

“Kalau sudah merasa tidak tertolong dengan cara-cara sederhana, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional,” pungkas Atika.

Menjaga Keseimbangan di Era Informasi

Era digital memang menghadirkan kemudahan dalam mengakses informasi. Namun, akses tanpa batas juga menghadirkan risiko tersendiri bagi kesehatan mental. Doomscrolling adalah salah satu contoh nyata bagaimana arus informasi yang berlebihan dapat menjerumuskan seseorang dalam kecemasan.

Dengan memahami bahaya fenomena ini, masyarakat diharapkan lebih bijak dalam menggunakan teknologi. Mengendalikan asupan informasi, melakukan aktivitas positif, dan menjaga keseimbangan hidup adalah langkah nyata untuk melindungi diri dari dampak buruk doomscrolling.

Terkini

Bintang Basket 3x3 Dunia Siap Ramaikan Shanghai Tour

Kamis, 25 September 2025 | 11:01:41 WIB

Italia dan Polandia Lolos Semifinal Kejuaraan Dunia Voli

Kamis, 25 September 2025 | 11:01:40 WIB

Undian Babak 16 Besar Piala Liga Inggris Panas

Kamis, 25 September 2025 | 11:01:40 WIB